Teori Keindahan Darwinian Denis Dutton & Cita Rasa Bourdieuian

Catatan: kata ‘estetis’, ‘keindahan’ dan ‘kecantikan’ akan digunakan silih berganti. Diasumsikan tidak ada perbedaan di antaranya.

Hari ini ada sebuah kontes yang diselenggarakan untuk pertama kalinya di Indonesia; kontes kecantikan biasa disebutnya. Kontes Miss World 2013 dimahkotakan pada Megan Young yang merupakan Miss Philippines. Terlepas dari kontroversi yang sempat menghangat belakangan mengenai kepatutan acara tersebut diselenggarakan di Indonesia, ada yang juga menarik untuk kita pertanyakan lagi; Apa itu kecantikan? Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang membayangi Denis Dutton, seorang filsuf seni (mungkin karena aneh jika dinamai filsuf kecantikan). Hasil pemikiran Dutton mengenai kecantikan bisa dilihat di link ini. 

Dutton berusaha memahami kecenderungan kita melihat sebuah objek yang kita berikan padanya predikat ‘indah’ atau ‘cantik’ dengan kembali menggali teori evolusi Darwin kemudian mengaitkannya dengan cita rasa (taste) artistik dan estetika kita. Pengalaman partikular yang kita rasakan, yang emosional dan menyenangkan atas sebuah objek yang indah -bisa disebut experience of beauty– merupakan hasil panjang evolusi psikologis spesies kita sebagai mekanisme adaptasi. Keindahan merupakan efek adaptif yang kita buat dan perkuat dalam pembuatan dan penikmatan hasil seni.

Evolusi berkerja dalam dua mekanisme, yang pertama adalah seleksi alam. Secara singkat, seleksi alam ini membuat tak hanya tubuh kita (fisiologi) yang berubah tetapi juga reaksi kita terhadap sesuatu misalnya merasa jijik pada daging yang busuk, merasa takut pada singa, juga reaksi ‘kenikmatan’ seperti sexual pleasure, rasa manis, dan lain-lain. Sedangkan mekanisme evolusi yang kedua merupakan seleksi seksual. Karena Darwin merupakan seorang, bisa disebut, ornitolog, ia kemudian meneliti ekor merak sebagai contoh seleksi seksual. Ekor merak bukan merupakan ‘alat’ untuk bertahan atau menyerang seperti taring atau kuku harimau atau tinta gurita, justru ekor merak merugikan jika kita lihat sebagai alat pertahanan atau penyerangan. Ekor merak ada sebagai alat untuk menarik lawan jenis agar mau kawin dengan si pemilik ekor, ini disebut mating selection. Darwin mengatakan bahwa ekor merak pejantan dipandang indah oleh betina, maka dengan demikian bisa dikatan bahwa “the experience of beauty in one of the ways that evolution has of arousing and sustaining interest or fascination or even obsession in order to encourage us toward making the most adaptive decision for survival and reproduction”. Jadi ada sejenis magnet yang kita rasakan pada objek yang indah yang kemudian kita bisa merasakan kenikmatan hanya dengan menginderakannya saja. Singkatnya, keindahan adalah mekanisme yang kita kembangkan untuk menjamin kelangsungan hidup kita, siapa yang tercantik maka dia akan menjadi favorable untuk ‘dikawini’.

Pada titik itu tentu jelas kiranya asal-muasal keindahan itu sendiri. Namun untuk hanya berhenti pada titik itu saja, justru akan menimbulkan lebih banyak pertanyaan. Ada pertanyaan seperti, ‘toh kita tahu sekarang bahwa kecantikan itu tidak satu, lalu bagaimana menjelaskan hal tersebut?’. Maka hipotesa saya adalah; keindahan yang beragam adalah hasil kontestasi keindahan dalam sebuah atau antar masyarakat. Keindahan yang paling banyak dirasakan sebagai yang indah adalah keindahan yang menang dari ‘jenis’ keindahan-keindahan lain, dan maka keindahan tersebut akan menjadi ‘standar’ keindahan yang berlaku pada dimensi spasial temporal tertentu.

Untuk menjelaskan hal ini, saya mencoba merujuk pada penjelasan Pierre Bourdieu mengenai selera atau cita rasa (taste). Penilaian atas selera (judgement of taste) tidak ada yang netral, jika menurut Bourdieu. Maksud Bourdieu adalah penilaian artistik pun estetika kita atas sebuah objek tidak lepas dari kelas yang diduduki kita. Penjelasan ini berbeda dengan konsep estetika Immanuel Kant yang percaya bahwa penilaian estetis/keindahan itu sifatnya universal, objektif dan serta-merta karena ada semacam aparatus yg innate dalam kognisi kita untuk mengetahui dan merasakan keindahan. Bourdieu di sisi lain menjelaskan bahwa cita rasa, yang berawal dari penilaian estetis atau keindahan yang lebih awalnya berasal dari kenikmatan yang dirasakan, tidaklah seperti yang dibayangkan Kant. Ada perbedaan-perbedaan tertentu yang Bourdieu lihat pada kelompok-kelompok orang atau kelas-kelas tertentu bereaksi pada objek keindahan yang kemudian menjelaskan cita rasanya. Ada yang disebut sebegai opposition of taste dari kelas-kelas. Penjelasan estetika disinterested formalism Kant, menurut Bourdieu hanya berlaku pada kelas atas, sedangkan kelas bawah lebih menyandarkan penilaian keindahan mereka pada moralitas. Selain itu juga Bourdieu, dengan data yang begitu lengkap, bisa dengan seksama melihat kecenderungan-kecenderungan lainnya yang berbeda antara kelas atas dan kelas bawah. Intinya, kembali, bahwa ada perbedaan penilaian estetis dan selera yang berdasarkan pada kelas. Tentu jika menggunakan kerangka berpikir Bourdiueian akan salah jika hanya menjelaskan pada determinasi kelas tanpa melihat konsep habitus. Namun karena tulisan ini hendak menjelaskan fenomena yang makro, antar kelas, sedangkan habitus itu merupakan subjektif (walaupun masih terlekat pada kelas, habitus kelas), maka penggunaan konsep habitus untuk keperluan analisa bisa ditangguhkan.

Kembali pada opposition of taste antar kelas, Bourdieu melihat adanya oposisi tersebut berbasis pada oposisi yang fundamental yakni oposisi yang dominan dan yang terdominasi. Kelas dominan mengembangkan sebuah nilai estetika tersendiri yang berbeda dengan, dan pada tahap lebih lanjut dapat menekan, nilai estetika kelas yang terdominasi. Penarikan yang dilakukan oleh Bourdieu dari oposisi selera ke opsisi kelas sebenarnya menjelaskan penjelasan Denis Dutton mengenai keindahan sebagai mekanisme evolusi secara lebih sosiologis. Kita dapat melihat adanya semacam kontestasi keindahan antar kelas seperti yang tertuang dalam buku Bourdieu, La Distinction. Pertempuran ini terjadi ketika cita rasa dijadikan senjata agar kelas atas terus terpisah dari kelas bawah yang hendak memasuki kelasnya. Kelas atas melakukan pembedaan diri dari kelas lainnya dan menjadikan seleranya sebagai selera yang legitimate, di situ kita melihat adanya social closureSocial closure terhadap definisi keindahan karena keindahan merupakan sumber daya lainnya yang harus dicegah agar tak dimiliki kelas lain. Namun kita juga lihat beberapa fenomena ketika cita rasa kelas bawah menjadi aktif, ketika cita rasa kelas bawah menjadi sesuatu yang masal, seperti yang terjadi di Inggris tahun 1950-an dan 1960-an yang membuat pemerintah kala itu jadi cemas karena merasa budaya atas terancam, atau kita lihat adanya gerakan-gerakan yang membuat sebuah ‘standarisasi’ keindahan yang lain yang dengan sadar ditujukan untuk melawan keindahan kelas atas, seperti Punk dll, itu biasa kita sebut counter culture. Hal ini bisa kita lihat sebagai pencabangan keindahan agar keindahan tak hanya ada satu standar saja karena standar tersebut telah dimonopoli oleh kelas atas. Ini kemudian menjelaskan jika menurut Denis Dutton keindahan merupakan sebuah yang universal, tetapi nyatanya kita tidak bisa menafikan adanya perbedaan keindahan pada era Pencerahan, Viktorian, Romantisme, Barok, Gotik, Modern dan lain-lain. Juga menjelaskan mengapa keindahan satu bangsa, misal Fiji, dengan India berbeda karena pertempuran antar keindahan ini kita bisa lihat dalam kerangka sosiobiologi; keindahan yang di dalamnya terjadi persaingan yang difasilitasi oleh kelas sosial merupakan persaingan antar kelompok manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya, kelas yang menang yang memiliki nilai keindahan tertentu akan menjadikan standar keindahannya sebagai yang legitimate, sedangkan kelompok yang kalah atau terpinggirkan akan mengembangkan nilai keindahan lainnya yang berbeda.

Sumber:

http://www.ted.com/talks/denis_dutton_a_darwinian_theory_of_beauty.html

http://www.marxists.org/reference/subject/philosophy/works/fr/bourdieu.htm

http://www.iep.utm.edu/kantaest/#SH2a

http://www.acrwebsite.org/search/view-conference-proceedings.aspx?Id=7565

 

oleh: Fazar R. Sargani